Kebangkitan Sastra Aceh Pasca-Tsunami

Kehidupan sastra di Aceh menggeliat bangkit pasca-tsunami. Berbagai acara sastra digelar dan buku-buku karya sastra berterbitan pasca-bencana besar itu. Buku terbaru, kumpulan cerpen Pada Tikungan Berikutnya karya Muswarman Abdullah, akan diluncurkan Selasa 13 Februari 2007, di kantor Lapena, Banda Aceh.

Buku itu hanya salah satu dari empat buku sastra yang telah diterbitkan Lapena pasca-tsunami, seperti Ziarah Ombak (antologi puisi tsunami) yang dieditori Sulaiman Tripa dan D Kemalawati, Surat dari Negeri tak Bertuan (kumpulan puisi karya D Kemalawati), Menunggu Pagi Tiba (kumpulan cerpen karya Sulaiman Tripa), dan Nyanyian Manusia (kumpulan puisi karya Harun Al Rasyid).

Selain dari Lapena, sejumlah buku karya sastra juga telah terbit pasca-tsunami, misalnya Bayang Bulan di Pucuk Mangrove (antologi cerpen, Dewan Kesenian Banda Aceh) yang dieditori Mustafa Ismail, Lagu Kelu (kumpulan puisi tsunami, Aliansi Sastrawan Aceh) yang dieditori Doel CP Allisah, Manusia Kodok (kumpulan cerpen, Komunitas Tikar Pandan) yang dieditori Azhari, dan novel Hikayat Sang Gila (Prima Rodeta) karya Saiful Bachri.

Saat ini juga masih ada dua buku — Dandelion dan Serdadu Tua Nguyen Polan — yang sedang dalam proses cetak. Dandelion adalah buku kumpulan cerpen dan puisi — diterbitkan oleh Komunitas Aceh Muda Kreatif (AMuK Community). Sedangkan Serdadu Nguyen Polan adalah buku kumpulan cerpen, puisi dan esei karya almarhum Hasyim KS — diterbitkan oleh Aliansi Sastrawan Aceh (ASA).

Buku Serdadu Nguyen Polan dieditori oleh Ketua ASA, Doel CP Allisah. Sedangkan Dandelion dieditori oleh Mustafa Ismail, Ahmadun YH dan Saiful Bachri. ”Buku ini merupakan hasil dari workshop penulisan cerpen dan puisi yang kami adakan di Saree,” kata Saiful Bachri, ketua AMuk Community.

Ketua Dewan Kesenian Banda Aceh, Zoelfikar Sawang, pun menyambut gembira kegairahan penerbitan buku-buku karya para penulis sastra di Aceh itu. ”Buku-buku lainnya akan segera menyusul,” katanya, optimis. Maraknya penerbitan buku dan acara sastra — sejak workshop, diskusi, sampai pertunjukan — itu oleh sementara pengamat sastra dianggap sebagai indikasi kebangkitan sastra Aceh pasca-tsunami. ”Memang ada indikasi sepeti itu,” kata Mustafa Ismail, cerpenis yang belakangan sering diundang mengisi work shop penulisan di Serambi Mekah.

Sebelum tsunami, kehidupan sastra di Aceh sebenarnya sudah cukup marak. Beberapa buku, baik novel maupun kumpulan cerpen dan puisi, sempat terbit. Acara-acara sastra juga sesekali digelar. Rubrik sastra di surat kabar lokal, seperti Serambi Indonesia, ikut mendenyutkan kehidupan sastra di Serambi Mekkah.

Ketika — 28 Desember 2004 — tsunami menerjang wilayah yang begitu lama dilanda konflik itu, sejumlah sastrawan dan seniman ikut menjadi korban bersama sekitar 140 ribu warga Nangroe Aceh Darussalam (NAD) lainnya. Misalnya, Maskirbi, M Nurghani Ayik, Papi Zakaria, Mustiar AR, Virse Venny, dan Suhaita Abdurrahman.

Masyarakat sastra Indonesia, khususnya yang tinggal di Aceh, tentu sangat terpukul atas kehilangan besar yang tidak pernah terduga sebelumnya itu. Namun, para sastrawan dan pekerja sastra Aceh tidak bisa hanya bersedih dan menyesali keadaan secara berkepanjangan. Mereka memanfaatkan momentum ‘banjir empathi’ untuk menggeliatkan kembali kehidupan sastra. Buku-buku diterbitkan, dan acara-acara sastra terus digelar. Sejumlah LSM sastra pun didirikan untuk membangkitkan kehidupan sastra di Serambi Mekkah. ”Kegiatan sastra di Aceh pasca-tsunami memang lebih marak dibanding sebelum tsunami,” kata Saiful Bachri.

Maka, di antara rasa duka dan kehilangan, muncullah semangat dan obsesi untuk mengembalikan kejayaan sastra Aceh seperti pada era Hamzah Fansuri — pujangga dari zaman kesultanan Aceh yang melegenda dan karya-karyanya abadi hingga sekarang. Namun, tentu tidak sepersis Hamzah Fansuri yang dibutuhkan masyarakat Aceh dan sastra Indonesia saat ini, karena zaman telah berubah, dan peran sastra serta kepujanggaan telah bergeser. Menurut Danarto, yang penting bagi sastrawan Aceh saat ini adalah menulis karya sastra sebanyak-banyak dan sebagus-bagusnya. ”Syukur kalau kemudian dapat lahir karya besar dari Aceh,” katanya dalam diskusi tentang sastra Aceh di gedung Republika, Jakarta, Rabu (31/1) lalu.

Dan, peluang untuk itu, menurut Hamsad Rangkuti, terbuka lebar bagi sastrawan Aceh. Banyak peristiwa dan persoalan besar di Aceh, seperti konflik disintegrasi dan tsunami, yang dapat menjadi sumber inspirasi bagi lahirnya karya-karya penting. ”Potensi untuk berkarya sangat besar,” kata cerpenis itu.

Untuk menguji obsesi tentang kebangkitan sastra Aceh, sekaligus menjalin kerja sama yang lebih baik dengan media-media sastra di Jakarta, beberapa sastrawan Serambik Mekah pun bertandang ke Jakarta, 30 Januari – 4 Februari 2007, lalu. Mereka, antara lain Zoelfikar Sawang, Saiful Bachri, dan Doel CP Allisah.

Selain berdialog dengan beberapa sastrawan, mereka juga mengunjungi beberapa kantor redaksi surat kabar, seperti Republika dan Koran Tempo. Sayangnya, bencana banjir yang melanda ibukota menghalangi keleluasaan gerak mereka. Kompas dan Horison, misalnya, batal dikunjungi.

Menurut Zoelfikar Sawang, pasca-tsunami banyak kelompok sastrawan tumbuh di Aceh. Mereka juga makin bergairah untuk berkarya. Karena itu, ia mengharapkan para pengamat sastra melirik Aceh dan memperhatikan karya-karya sastra yang lahir di sana. Ia juga mengharapkan media-media sastra di Jakarta memberikan peluang yang memadai bagi para sastrawan Aceh, agar mereka dapat ikut berperan bagi perkembangan sastra Indonesia. ahmadun yh

Sumber : http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=282279&kat_id=306

1 Komentar

  1. teuku ahmadi said,

    Maret 19, 2010 pada 8:42 am

    harapan saya buku itu diperbanyak karena teman-teman susah mencari hal-hal yang berhubungan dengan buku-buku dari daerah sendiri, terutama Aceh.


Tinggalkan komentar